3 Alasan Gerakan #GejayanMemanggil Viral dan Masif
Trending topik Twitter Indonesia sejak Minggu (22/9/2019) ditenggeri oleh tagar #GejayanMemanggil yang berisi ajakan turun ke jalan untuk melakukan aksi unjuk rasa. Keriuhan di jagad maya tersebut telah berubah menjadi aksi nyata lautan massa yang memadati Jalan Gejayan, Yogyakarta pada Senin (23/9/2019). Massa aksi demo Gejayan ini merupakan gabungan dari berbagai elemen masyarakat terutama mahasiswa yang menamakan diri Aliansi Rakyat Bergerak. Mereka melakukan kritik dan tuntutan atas gejolak yang terjadi di Indonesia belakangan ini. Hingga pukul 17.00 WIB, tagar #GejayanMemanggil di Twitter telah mencapai 155 ribu tweets.
Viralnya tagar #GejayanMemanggil dan masifnya massa yang turun ke jalan tidak lepas dari kontroversi wakil rakyat yang tidak tanggap dengan masukan dari rakyatnya. Berikut tiga alasan tagar #GejayanMemanggil Viral.
1. Pasal-Pasal Kontroversi RKUHP yang Mengebiri Demokrasi
Pasal 219 dinilai mengancam kebebasan pers- “Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV (Rp 200 juta).”
Pasal 432 bisa diartikan multitafsir dan menimbulkan kerawanan warga untuk bisa menghakimi orang yang berada di jalanan.- “Setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I (Rp 1 juta)”. Pasal ini juga bertentangan dengan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara.
Ada pula pasal yang dinilai diskriminatif terhadap korban pemerkosaan, yaitu pasal 470 Ayat 1 “Setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau meminta orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.”
Sedangkan pasal 604 justru terkesan melemahkan upaya pemberantasan korupsi dengan koruptor akan mendapat hukuman penjara yang lebih ringan. “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu Korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Kategori II (Rp10 juta) dan paling banyak Kategori VI.” Pasal tersebut tidak selaras dengan Undang-undang Tindak Pidana korupsi pasal 2 yang memberikan ancaman penjara minimum 4 tahun, sanksi denda minimum Rp 200 juta bagi koruptor.
Berdasarkan data yang ditulis dalam rilis aksi Aliansi Rakyat Bergerak, tahun 2018 terdapat 1087 tersangka korupsi di seluruh Indonesia dan saat ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang menindak 454 kasus. Sementara, kerugian negara mencapai 5,6 triliun yang terdiri dari suap (134,7 miliar), jumlah pungutan liar (6,7 miliar), dan pencucian uang (91 miliar). Sementara, dalam Laporan Tahunan yang dilansir KPK (2018) disebutkan bahwa ada 107 penetapan tersangka melalui Operasi Tangkap Tangan yang dilakukan pada tahun 2018.
Kerja keras KPK dalam membersihkan Bangsa Indonesia dari korupsi justru mendapat jegalan dari dalam. DPR lagi-lagi membuat kontroversi dengan mengesahkannya perubahan kedua Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi pada Selasa (17/9/2019).
Dalam catatan resmi yang dilansir oleh KPK, disebutkan ada 10 isu dalam revisi ini yang melemahkan posisi KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi, yakni 1) Independensi KPK terancam; 2) Penyadapan dipersulit dan dibatasi; 3) Pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR; 4) Sumber penyelidik dan penyidik dibatasi; 5) Penuntutan perkara korupsi harus melalui koordinasi dengan Kejaksaan Agung; 6) Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria; 7) Kewenangan pengambilalihan perkara di tahap penuntutan dipangkas; 8) Kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan; 9) KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan yang beresiko menciptakan potensi intervensi kasus menjadi rawan; 10) Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas.
Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh Aliansi Rakyat Bergerak, banyak kejanggalan yang tampak, seperti pembukaan lahan dengan cara membakar ditengarai menjadi muasal asap yang mengepung kota. Titik panas, berdasar pantauan satelit Resource Watch, hanya berada di hutan-hutan pinggiran lahan sawit. Sementara tanaman lain, tentu saja termasuk sawit, tidak terbakar. Kemungkinan besar, lahan-lahan itu ditujukan untuk sawit atau tanaman penghasil lain. Dampak dari Karhutla banyak nyawa meninggal, 6000 orang terkena inspeksi pernapasan (ispa), dan pandangan yang kabur.
Selain ketiga isu di atas Aliansi Rakyat Bergerak juga menyoroti soal RUU Ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada rakyat, RUU Pertanahan yang berpotensi menghidupkan kembali praktek politik agraria era kolonial, dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang justru merupakan permasalahan penting tapi tidak kunjung disahkan.
Kenapa Memilih Gejayan
Sejarah mencatat Jalan Gejayan pernah bergolak pada 1998. Kala itu mahasiswa melakukan unjuk rasa melawan rezim orde baru. Kini jalan tersebut telah berubah nama menjadi Jalan Affandi dan kembali dipilih untuk melakukan aksi massa Aliansi Rakyat Bergerak.
Obed Kresna, mantan ketua BEM KM UGM, mengatakan Gejayan dipilih karena letak geografisnya yang merupakan titik tengah kampus-kampus di Yogyakarta sehingga dapat membuat gerakan lebih masif. Setidaknya ada tiga kampus yang terletak disekitar Jalan Gejayan yaitu Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Sanata Dharma, dan Universitas Atma Jaya. Selain itu jalan ini juga mudah diakses dari beberapa kampus lain seperti, Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Kristen Duta Wacana, Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran”, dan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga.
Ia menambahkan aksi-aksi di Malioboro, Titik Nol, dan Tugu sangat repetitif sehingga membuat masyarakat menganggap biasa. Padahal isu-isu yang diangkat ini bersifat genting dan harus didengarkan oleh publik yang lebih luas. Aksi #GejayanMemanggil ingin menunjukkan bahwa bangsa ini memiliki persoalan yang harus publik dengungkan agar segera diselesaikan oleh penguasa. Mahasiswa dan masyarakat Jogja masih punya akal sehat untuk berpikir kritis tentang negara dan bangsanya. (Dwi Doko/Vemelinda).
Facebook Comments